Anak merupakan dambaan bagi setiap
pasangan yang menikah. Kehadirannya
adalah anugrah terindah yang tak ternilai harganya. Bagaimanapun suksesnya karir seorang istri,
takkan bisa menggeser kebahagiaan atas kesuksesan seorang ibu dalam mendidik
dan membesarkan buah hatinya.
Dunianya di mulai dari sebuah
keluarga yang mendidik dan membesarkannya dengan limpahan kasih dan kesabaran
hingga dia beranjak besar yang kita sebut “rumah”. Seperti apa dia di kala dewasa tergantung
bagaimana kita membentuk karakternya.
Inilah letak kuncinya. Saat bayi
dan balita seorang anak ibarat sebuah lilin dan karet yang akan kita
bentuk. Bagaimana bentuk wadah yang
menaunginya maka dia akan tumbuh seperti itu.
Jiwa anak yang belum stabil layaknya
mainan karet, mudah sekali berubah-ubah.
Hingga tak cukup sekali kita menanamkan prinsip hidup dan prilaku baik
padanya. Inilah mengapa seorang ibu
haruslah berpendidikan dan terpelajar, karena Ibu akan berfungsi sebagai mesin
pencetak generasi unggul dalam sebuah kawah candradimuka yang kita sebut rumah.
Seorang ibu harus pandai memahami
bagaimana keinginan buah hatinya, mengajarkannya penuh kesabaran dengan
lika-liku perjuangan yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, tak jarang seorang ibu
mengalami tingkat stress yang tak kalah dengan pegawai kantoran. Karena seorang ibu berhadapan dengan banyak
hal dan kewajiban. Sosok yang dituntut multitasking, kreatif, kuat dan tahan
banting.
Apa yang akan terjadi, bila kita
sebagai seorang ibu tidak mampu mengelola emosi? Maka anak akan tumbuh menjadi sosok yang
temperamental atau bahkan sosok yang mengalami depresi di masa remajanya.
Apa yang terjadi bila seorang ibu
miskin pengetahuan di jaman serba Gadget?
Padahal ibu adalah tempat bertanya yang paling mudah di jangkau, sumber
informasi dan literasi, alhasil buah hati kita akan bertanya atau bahkan
mencari tahu dengan caranya sendiri hingga luput dari pengawasan. Dampaknya kita tidak dapat melakukan filter
informasi dan dampak teknologi.
Cara-cara yang mungkin dapat menjerumuskannya dalam pergaulan dan
prilaku yang kurang tepat yang mungkin keluar dari rel-nya.
Pengalaman yang baik dan buruk juga
sempat saya alami. Sebagai seorang ibu
muda yang memiliki jiwa yang masih belum sepenuhnya dewasa, hadirnya sang buah
hati menjadi suatu peristiwa yang membahagiakan. Namun miskinnya informasi
akibat kurangnya pemahaman tentang merawat buah hati juga sempat membuat saya
bingung dan sedikit stress.
Tak pernah terpikir bahwa saya harus
sering terjaga demi sang buah hati, menghadapi kerewelannya di kala haus dan
lelah. Mencoba untuk mengenalkannya pada
makanan dan banyak hal lain yang merupakan misteri bagi saya saat itu. Hidup jauh dari orangtua, membuat saya tak
tahu harus bertanya ke mana. Sementara
saat itu suami saya tinggal dan bekerja di kota yang berbeda dengan saya dan
buah hati.
Malangnya, putra pertama saya
memiliki stamina yang kurang begitu baik.
Sering jatuh sakit dan langganan ke rumah sakit. Sebagai wanita muda yang harus menghadapi
seorang diri, tentu saja kondisi ini membuat saya sedikit tertekan dan
labil. Ketakutan akan kehilangan anak
yang saya cintai, membuat saya berusaha terlalu keras dalam memenuhi asupan
gizinya.
Semakin hari tubuh putraku semakin
kurus. Tak sedikitpun susu formula yang
mau di minumnya. Sementara ASI yang saya
hasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Makanan pendampingpun tak sanggup
ditelannya. Rasa takut memaksa saya
untuk berlaku keras pada buah hati kala itu.
Setiap kali anak enggan untuk minum susu dan makan sementara saya telah
berusaha untuk membujuknya, maka saya sedikit keras padanya.
Saya menjadi over protective. Pada waktu
yang berbeda saya begitu memanjakannya.
Akhirnya anak saya tumbuh menjadi anak yang cerdas namun
temperamental. Jujur hati kecil ini tak
tega berbuat itu padanya. Kala malam
tiba dan dia tertidur dalam pelukkan, saya menangis dalam doa. Membisikkan kata-kata indah ditelinganya,
mengusapnya dengan penuh kelembutan, berharap semoga sikap saya tidak memberi
dampak buruk bagi jiwanya.
Saat itu saya bertekad ingin menebus
semuanya dengan tidak merencanakan kehamilan.
Saya ingin memberikannya kasih sayang lebih banyak lagi, hingga dia
tidak berpikir bahwa saya tidak menyayanginya.
Disiplin yang saya terapkan terkadang membuatnya tertekan. Mungkinkah saya telah salah mengasuhnya? Berpikir demikian membuatku begitu takut dan
khawatir. Khawatir anakku akan tumbuh
menjadi pribadi yang posesif karena kesalahanku.
Manusia boleh berencana tapi Allah
juga yang menentukan, begitupun adanya denganku. Kontrasepsi yang kugunakan rupanya tidak
mampu mencegahku dari kehamilan. Saat
secara psikologi aku belum siap untuk kembali menerima amanah yang diberikan
oleh Nya, Allah telah menggariskan lain.
Tanpa kusadari aku telah hamil 2 bulan, padahal saat itu aku masih
mendapat menstruasi dan aku masih menyusui anakku yang pertama.
Rupanya anak pertamaku dapat
merasakan perubahan yang terjadi dalam tubuhku.
Dia menjadi sangat rewel, dan tidak mau ditinggal selangkahpun
olehku. Setiap hari dia selalu minta
digendong, mogok makan dan minum, membuat fisiknya semakin lemah. Aku tak kuasa melihatnya. Saat itu aku betul-betul dituntut untuk
memiliki manajemen emosi yang baik.
Untunglah saat itu aku dan suami telah tinggal dalam satu atap, sehingga
kami bisa saling membantu.
Kehamilanku yang kedua aku terlalu
fokus pada anak pertamaku yang belum bisa menerima adanya calon adik di dalam
perutku. Meski aku memahami bagaimana
kejiwaan seorang ibu akan berpengaruh pada janin. Semua teori kubiarkan begitu saja. Satu yang selalu kuyakini bahwa doa seorang
ibu sangat berarti untuk anaknya, dan aku selalu berdoa pada Allah agar
senantiasa memberikan kesehatan bagi janin yang ku kandung.
Kuputuskan untuk menyekolahkan
anakku di TK dekat tempat kami tinggal.
Meski usianya saat itu belum genap 3 tahun. Semua ini kuharap dapat menjadikan
hari-harinya menjadi lebih berwarna.
Keputusan ini adalah keputusan terbaik yang kuambil. Anakku dapat belajar bersosialisasi di
sekolah. Motorik halusnya juga menjadi
lebih terlatih. Dia tidak lagi menjadi
sosok yang introvert. Pribadinya mulai terbuka.
Bersamaan dengan peningkatan
kecerdasan putra pertamaku, putra keduaku lahir. Sejak aku mengetahui kehamilanku yang kedua,
aku mulai mengenalkan kepada sang Kakak tentang calon adiknya. Berusaha membuatnya mengerti dan menerima
kehadiran sang adik. Subhanallah rupanya
anakku cukup mengerti dengan segala kesibukanku dalam merawat adiknya. Terkadang sang Kakak menjaganya kala ku
memegang pekerjaan rumah tangga.
Membuatku terharu dan menitikkan air mata. Di usianya yang belia dia harus memikul
tanggung jawab sebagai seorang kakak yang mungkin berat baginya saat itu.
Belajar dari pengalaman anak
pertamaku, aku ingin mendidik anak keduaku dengan cara yang berbeda. Awalnya anak keduaku tidak memiliki kedekatan
emosi denganku, melainkan dengan ayahnya.
Sekeras apapun aku berusaha menidurkannya dia tidak jua tertidur. Dia hanya bisa tertidur dalam pelukan sang
ayah atau bahkan tertidur sendiri. Dia
hanya akan tertidur bila suasana benar-benar sunyi. Dia juga tidak mau minum ASI-ku meskipun
jumlah ASI-ku melimpah ruah. Berbeda
dengan anak pertamaku yang hanya mau minum ASI saja.
Anak keduaku kudidik dalam kebebasan
yang terarah. Pertumbuhannya sedikit
terlambat bila dibandingkan sang Kakak begitu juga dengan bicaranya. Namun aku sadar bahwa setiap anak itu unik,
dan aku yakin dibalik kekurangannya pasti ada kelebihan. Tugasku sebagai ibulah yang harus bisa
memunculkan kelebihan dan potensinya.
Kuncinya adalah sabar.
Hampir setiap bulan kami menginap di
rumah sakit karena kondisi fisiknya yang lemah.
Kulalui hari-hari yang membosankan dengan lantunan doa untuk kami. Aku terpaksa meninggalkan sang Kakak di sekolah selama aku menemani adiknya di
rumah sakit. Sorenya suamiku akan
menjemput anakku dan membawanya tuk bertemu denganku di rumah sakit. Kami harus membagi waktu kami dengan
bijaksana agar tidak satupun yang terabaikan.
Selalu begitu selama tiga tahun.
Masa kecilnya banyak dilewati di
rumah sakit dengan selang infus yang terpasang ditubuhnya. Namun aku selalu membisikkan padanya agar dia
kuat, dan ternyata dia memang anak yang kuat mentalnya.
Lambat laun kedekatan emosi di
antara kami mulai terbentuk. Si kecil
pun beranjak besar, meski belum bisa bicara namun dia telah membuat bahasa
isyaratnya sendiri. Hal ini membantu
kami untuk memahami apa yang diinginkannya.
Wajahnya selalu ceria, dihiasi oleh senyum yang senantiasa tersungging
dari bibirnya. Betapa tampan dan
gagahnya putraku.
Lambat laun wajahnya mulai memberi
gambaran wajah seseorang yang amat kukenal.
Yah... putraku yang kedua ini mirip sekali denganku, bahkan banyak yang
berkata dia adalah kembaranku. Hi.hi.hi.
ada-ada saja. Saat itu aku masih belum
menyadari bahwa putra keduaku merupakan mesin fotocopy diriku. Segala kemampuan dan watakku menurun padanya.
Meski dia tidak mendapat perlakuan
yang istimewa layaknya sang Kakak, namun putra keduaku ini lebih ekspresif dan
kreatif. Dia tumbuh menjadi pribadi yang
pemberani, periang, supel dan humoris.
Pernah suatu ketika dia berteriak-teriak minta tolong, saat kuhampiri
salah satu tangannya sedang menjepit lubang hidungnya, sementara tangannya yang
lain berusaha menarik tangan satunya yang seolah lengket pada cuping
hidungnya. Dia memberi isyarat untuk
membantunya melepaskan tangannya dari hidungnya. Sungguh bikin kami yang melihatnya tertawa
geli. Melihat kami tertawa, diapun
tertawa sambil melepaskan jepitan tangannya.
Rupanya diam-diam jagoan kecilku ini
merupakan pengamat dan peniru yang baik.
Ada bakat aktor terpendam dalam dirinya.
Sering kujumpai dia bermain kata-kata dengan boneka atau apapun, membuat
sebuah percakapan dan cerita. Kadangkala
dia menghampiri dan mencium tanganku, sementara sebuah tas berada dalam
jinjingannya, “Bunda, Ade mau kerja dulu.
Assalamu alaikum!” begitu katanya menirukan sang ayah.
Kuakui, aku memang hobi sekali
bermain seni peran, aku sedikit centil, jahil dan cukup supel. Kala aku sedang marah atau bersedih aku
sering berpura-pura pingsan untuk menarik simpati suamiku. Rupanya hal ini tak luput dari pengamatan si
kecil, padahal hingga saat ini suamiku saja tak pernah tahu bahwa aku hanya
bersandiwara.
Suatu ketika putraku terserang
flu. Seperti yang sudah-sudah biasanya
tubuhnya tak mampu menerima virus ini,
batuknya tak jua sembuh hingga terjadi penumpukan lendir di paru. Penumpukan lendir ini mengakibatkan putraku
sulit bernafas hingga sesak dan lemas.
Tiba-tiba aku melihat tatapannya kosong ke langit-langit. Kuhampiri dan bertanya padanya,”Ade...ade
kenapa?”.
Saat
itu bukan jawaban yang kuperoleh, melainkan desah nafasnya yang seolah
sulit. Tatapan matanya kian pudar
meredup hingga akhirnya menutup.
Kuguncang tubuhnya yang mulai lemas dengan perasaan yang sangat cemas,
karena ini bukanlah yang pertama. Anakku
pernah mengalami lemas karena kurang oksigen akibat penumpukan lendir di paru.
Tubuhnya
diam tak bereaksi. Aku menjadi semakin
cemas. Tak kurasakan lagi denyut nafasnya. Kuguncang tubuhnya lebih kencang dan
tiba-tiba dia bersuara,”Apa Bunda? Ade
ngga papa. Ade Cuma pura-pura” katanya
ringan tanpa menyadari betapa perbuatannya telah membuat bundanya spot jantung
tingkat tinggi. Hufft... hari itu aku
betul-betul dikerjai olehnya.
Tak
dapat dipercaya anak seusianya (4 tahun) dapat memiliki ide seperti itu. Menakjubkan buatku dan membuatku lebih
waspada dalam bersikap dan bertutur kata.
Contohnya adalah beberapa hari yang lalu, jagoan kecilku ini menirukan
gayaku memanggilnya dengan maksud untuk menggoda dan bermain dengan sang
Kakak. “Sayangku...sini sayangku!” yang
dibalas oleh bantingan pintu oleh sang kakak yang cenderung mudah emosi.
“Sayangku...,
jangan marah dong sayangku. Sini biar
aku peluk!” katanya.
Sang
Kakak keluar dan memukul adiknya yang hanya bisa tersenyum-senyum melihat
Kakaknya terpancing emosi. Sungguh
pemandangan yang lucu melihat tingkah keduanya.
Kebebasan
terarah yang kuterapkan telah membuat putra keduaku tumbuh menjadi pribadi yang
menyenangkan, sopan, ramah, dan peka terhadap lingkungan. Dia sangat cepat melakukan proses duplikasi
atas setiap hasil pengamatannya, cepat belajar dan tak mudah menyerah. Berbeda dengan pola pengasuhan yang dahulu
kuterapkan pada Kakaknya. Meski
sama-sama memiliki kecerdasan di atas rata-rata namun penguasaan emosi sangat
berbeda, yang tentunya memberikan output yang berbeda nantinya.
Jadi
sebaiknya memang kita tidak mendidik anak terlalu keras meski untuk tujuan yang
baik. Tegas dan penuh kasih lebih baik daripada
disiplin yang dikuasai ego dan ambisi pribadi.
Biarkan anak tumbuh sesuai dengan umurnya, mengikuti kata hatinya. Kita sebagai orangtua hanya perlu
mengarahkannya dengan penuh kasih.
Menghujaninya dengan ciuman kasih sayang.
Kebebasan
terarah yang dbarengi dengan hujan kasih sayang akan menjadikan masa kecil buah
hati kita lebih ceria dan berwarna sehingga akan membantunya tumbuh menjadi
pribadi yang percaya diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar