Minggu pagi, 17 tahun yang
lalu... Seperti biasa kami berkumpul
untuk mengikuti pelatihan pencinta alam di sekolah. Aji, seorang seniorku mengawali pertemuan
dengan sebuah berita yang sangat kami tunggu.
“
Teman-teman, proposal kegiatan Ekspedisi Lawu kita, telah di setujui
pihak sekolah. Rencananya kita akan
berangkat pada saat libur sekolah nanti.
Jadi mulai sekarang kita sudah harus menyiapkan fisik, mental dan
pengetahuan survival kita untuk itu “ begitu seniorku menjelaskan, yang
langsung disambut sorak soraiku dan anggota HIMPPAS (Himpunan Pelajar Pecinta
Alam Semesta).
Mungkin seandainya lagu Ayu
Ting-ting saat itu telah beredar kami akan menyanyikan lagu sik asik sebagai
ungkapan kegembiraan. Namun sebenarnya
ada kekhawatiran juga, pasalnya ayahku sulit sekali untuk diminta ijinnya. Selama ini aku selalu berangkat tanpa ijin
dan ujung-ujungnya selalu berbuah masalah.
Semoga kali ini aku bisa berangkat.
Sesampainya di rumah, kucoba untuk
menyampaikan keinginanku mengikuti kegiatan pendakian ke Gunung Lawu di Jawa
Tengah. Tapi, seperti dugaanku jawabannya
adalah “ TIDAK!”. Hwuaaaa....ingin
rasanya aku menangis layaknya anak kecil seandainya hal itu bisa membuat
orangtuaku memberikan ijinnya. Hmm...kayaknya
aku harus mencari akal agar aku bisa berangkat.
Mengikuti kegiatan ini membutuhkan
dana yang tidak sedikit, dari mana aku bisa mendapatkannya kalau aku tidak
diijinkan. Berbagai rayuan kulakukan
untuk mendapatkan ijin ayahku sambil menyisihkan sebagian besar uang jajanku,
namun, tidak berhasil juga. Ah! Aku
menemukan sebuah ide, aku akan minta ijin untuk pergi berkemah. Yeah..! Pasti diijinkan.
Hari keberangkatanpun tiba. Semoga saja bekal yang kubawa cukup. Kulakukan cek dan ricek pada barang bawaanku,
dan setelah yakin sudah lengkap semua kami pun berangkat menuju stasiun kereta
api.
Saat itu rombongan kami terdiri dari
tiga orang wanita dan enam orang pria dan satu diantaranya seorang pria
ganteng, cool, berkulit kuning bernama
Aries. Mahluk yang satu ini banyak
menjadi incaran para wanita, karena wajah tampan dan sifat cool-nya, tidak terkecuali kami yuniornya.he.he.he. Untunglah aku tidak dianggap wanita oleh
mereka jadi....aku bisa dekat dan menikmati wajahnya sepuasku hi.hi.hi.
Oh iya, berhubung waktu itu musim
liburan sudah bisa diduga kereta banyak yang terlambat datang sehingga kami
terpaksa menunggu cukup lama. Tidak itu
saja, kereta penuh sesak hingga kami terpaksa duduk di toilet yang tidak
terpakai. Bayangkan...toilet yang kotor
dan berbau pesing. Hoek!!..rasanya
perut ini seperti diaduk-aduk. Wah,
lebih baik aku duduk di selasar gerbong saja.
Selonjor saja sulit!
Malam
itu perjalanan terasa panjang, belum lagi ditambah pedagang asongan yang
berlalu lalang. Hwuaaa...pengalaman yang
benar-benar tidak terbayangkan buat aku si anak mami. Baru juga memejamkan mata sedikit, eh ada
orang yang colek-colek tanganku, dan ternyata cuma pedagang asongan yang menawarkan
dagangannya. Uhhh...gimana bisa
istirahat?? Syukurlah setelah memakan waktu dua belas jam lebih, akhirnya kami
sampai di Stasiun Solo. Perjalanan kami
lanjutkan menuju Karang Anyar menggunakan bis KOPAJA. Lagi-lagi... si ganteng memilih duduk
denganku. “Asiikk ,“ batinku dalam hati sambil kedip-kedipan dengan temanku Kukuh,
yang berharap duduk dengan si ganteng.
Tahu tidak?? Ternyata orang ganteng itu kalau lagi tidur wajahnya tidak
ada bedanya dengan yang wajahnya pas-pasan.
Sama-sama lucu.
Setibanya di Karang Anyar kami
melanjutkan perjalanan dengan menggunakan truk pengangkut sayuran. Mau tau gimana rasanya? Wow... amazing!
Buat aku yang lahir dan besar di kota Jakarta, ini adalah angkutan yang paling
asik..! Duduk di atas tumpukan sayuran
di temani para petani dan pedagang kecil, melewati jalan yang berkelok-kelok. Luar biasa!!.
Sekitar pukul 10.00 kami sampai di
pos pendataan. Setiap pendaki yang akan
melakukan kegiatan di Gunung Lawu harus melapor terlebih dahulu pada petugas
dan melakukan ritual semacam ijin pada pemilik tempat. Kami dipesan untuk tidak berkata apa-apa bila
kami melihat atau mendengar sesuatu.
Dimulailah petualangan penuh horor kami.
Kejadian-kejadian di luar akal mulai kami alami. Saat malam merambat naik... aku berteriak
takut karena tiba-tiba saja sesosok binatang dengan mulut menyala seperti bara
api lewat di depanku.
“
Sssst....jangan berkata apa-apa!” begitu perintah salah satu green ranger ( penjaga hutan ) yang
mendampingi kami. Kami pun melanjutkan
perjalanan menuju pos dua. Konon katanya,
ini adalah kawah yang sebenarnya dari Gunung Lawu. Aku merasakan seperti ada yang
memanggil-manggil namaku, dan seperti ada bisikan yang menyuruhku menatap ke
atas pos. Kulihat seniorku Aji tiba-tiba
menjadi pendiam. Wajahnya begitu
tegang. Menurut ceritanya dia melihat
mahluk seperti asap yang melayang-layang di atas shelter kemudian bergerak menuju puncak. Kami diminta untuk tidak berlama-lama di pos
ini. Tiba-tiba... beberapa anggota tim kami
terserang diare hebat dan tidak mampu melanjutkan perjalanan. Terpaksa kami membagi tim ini menjadi dua
dengan masing-masing tim ditemani seorang green
ranger. Aku dan beberapa orang teman
melanjutkan perjalanan ke puncak, sementara temanku yang lainnya nge-camp sampai kondisinya membaik.
Perjalanan kami kali ini benar-benar
penuh ujian, setelah tim kami terpaksa dipecah, perjalanan kami juga seperti
diputar-putar tanpa arah. Setelah kami
melewati lembah yang disebut orang dengan sebutan “ Pasar Setan ”, beberapa
kali kami melalui puncak palsu, sampai akhirnya kakiku sudah tidak kuat lagi
melangkah. Aku menyerah dan pasrah,
meskipun rekan-rekanku meninggalkan aku disini... aku pasrah. Rasanya kakiku sudah
tak kuat meneruskan perjalanan. Mungkin
ini akibat aku tidak jujur pada orangtuaku tentang perjalanan ini.
Melihat
aku yang terduduk lemas, teman-temanku terus menyemangatiku dan menuntunku
dengan sabar. Dibawakannya tasku, sementara
teman yang lain menggandeng tanganku. Tiba-tiba, temanku yang bernama Ronald
memanggilku ke atas dan memberitahu bahwa dia sudah sampai di puncak asli. Yeahh!!!
Hampir tak percaya, semua rasa letihku sirna begitu saja, dan aku pun
bergegas menuju puncak.
Indahnya
matahari terbit membuat rasa letihku menguap begitu saja. Subhanallah..! aku serta merta bersujud mengagumi semua nikmat ini,
tak ada satupun lukisan yang mampu menandinginya. Gumpalan awan yang ada di bawah kami turut
menyempurnakan indahnya karunia Allah Azza
wa jalla.
Esok paginya rombongan kedua pun
tiba dan giliran kami yang turun sebelum kabut naik. Namun, tiba-tiba seolah ada suara yang
berasal dari dasar jurang yang memanggil-manggilku. Akupun menoleh, di bawah sana aku melihat
sosok pria dan wanita berkerudung disertai seorang anak melambaikan tangan dan
memanggilku. Aku mencoba memberitahu Kak
Aji dan teman-teman yang lain, tapi tidak satupun yang dapat melihat selain
aku. Sontak saja bulu kudukku merinding
dan aku segera berlari turun.
Sesampainya
di pos dua, teman-temanku kehabisan air dan segera mencari mata air
terdekat. Mereka menemukan sebuah kolam
kecil yang terdapat mata air, kemudian mengisi jerigen air mereka dan
menambahkan nutrisari sebelum meminumnya, “ Ahh...suegerr!” kata mereka
menikmati. “ Wah mereka tidak tahu kalau
semalem air itu dipake untuk membersihkan kotoran sehabis buang air besar...,
hiyyy ” kataku dalam hati. Untunglah
persediaan airku masih banyak sehingga aku tidak harus meminum air yang
menjijikkan itu. Sebenernya hati ini
ingin memberitahu tapi tidak tega karena mereka sudah terlanjur
meminumnya. Bismillah aja deh. Kamipun
beristirahat untuk makan siang sebentar, semangkuk indomie panas dengan kornet
serta sate sosis menemani makan siang kami.
Kami memang jarang sekali membawa makanan berat dalam setiap ekspedisi
kami. Menu wajib kami adalah gula batu,
telur ayam kampung, susu, coklat, roti dan mie, serta makanan instan ringan
seperti bubur bayi.
Pukul
13.00 WIB kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami, dan tiba di pos
masuk pukul 15.00 WIB. Sayangnya dalam
ekspedisi itu kami kehilangan salah satu ranger kami, terakhir kami melihatnya
pada saat dia memutuskan untuk mengambil jalan pintas melewati jurang. Kami pun berkumpul untuk mendoakan
keselamatannya, setelah itu kami bermalam di salah satu rumah Pak Wo. Suasana pedesaan dan pegunungan yang dingin
membuat kami tidak mampu memejamkan mata, terlebih mengingat nasib penjaga
hutan yang hilang.
Esoknya
kami melanjutkan perjalanan pulang melalui kota Yogyakarta. Kami bermalam di rumah Pakdeku di daerah
Stasiun Tugu. Berjalan-jalan hemat
mengelilingi Mallioboro, oh.. penuh
kenangan dan canda.
Pagi
itu kami bersiap pulang setelah berpamitan dengan Pakde dan Bude. Rencananya kami akan menggunakan kereta Fajar
ekonomi tujuan jakarta. Oleh karena itu
kami benar-benar mempersiapkan fisik kami agar kami bisa menikmati serba-serbi
kereta ekonomi. Kami nikmati perjalanan
panjang kami dengan riang, seraya mengingat kembali semua peristiwa yang kami
alami selama ekspedisi ini. Selamat
tinggal Lawu...Keindahan panoramamu dan ragam warna Eudelweismu tak akan pernah
kami lupakan. Hanya di sanalah kami
menjumpai Eudelweis dengan empat warna dan keindahannya. Semoga suatu saat kami bisa mengunjungimu
kembali.
“ Janganlah kau mengambil sesuatu di gunung kecuali gambarnya. Janganlah meninggalkan sesuatu di gunung kecuali jejak kakimu dan kenangannya. Jangan pula kau jumawa dan sesumbar di gunung, maka niscaya perjalananmu akan selamat”.
Biodata
Deskriptif
SRI
RAHAYU
Sri
rahayu, seorang sarjana pertanian yang punya hobi eksperimen masakan dan
jalan-jalan. Ibu dari dua orang anak
lelaki yang luar biasa ini sebenarnya belum pernah menelurkan satu cerpen atau
artikel apapun. Namun semangat untuk
menulis sudah dimulai sejak bangku sekolah sebagai penulis spesialisasi naskah pidato
sekolah, pantun dan karya ilmiah.
Beberapa karya ilmiahnya pernah diterbitkan di jurnal kampus dan menjadi
liputan disalah satu surat kabar di Jawa Timur pada tahun 2000. Untuk lebih mengenalnya dapat dihubungi
melalui e-mail: sri_rahayu_sp@yahoo.com.
Atau di akun FB saya Sri rahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar