Lima
tahun silam aku mengandungnya dalam situasi yang tidak memungkinkan bagiku,
kondisi kesehatanku, serta anak pertamaku yang belum berusia 3 tahun.
Rasanya aku tidak siap menyambut kehadirannya. Sempat terbesit dalam
pikiran suamiku untuk menggugurkan kandungan ini, kala usia kandunganku
menginjak 2 bulan. Tapi tidak, kenapa aku harus melakukan suatu perbuatan
nista itu, perbuatan yang dibenci oleh Allah, padahal kau hadir dari sebuah
hubungan yang halal. Kan kusambut kau dirumah cintaku anakku, meski
dengan semua keterbatasanku.
Bulan demi bulan
kulalui, rasa mual menderaku sangat, belum lagi flek-flek merah yang kerap
muncul saat aku lelah. Aku hanya mampu berdoa pada sang pemilik rencana,
semoga segalanya menjadi mudah bagiku. Terbayang dalam ingatanku
peristiwa saat aku berjuang dengan maut untuk kelahiran anak pertamaku,
terbayang bagaimana saat sesak menderaku di ruang operasi, hingga ajal
menyapaku. Ingatan itu terasa hangat, seolah baru saja terjadi.
Bulan ke-delapan bayiku tak jua kunjung masuk ke jalan lahir, aku pun tak
merasakan kontraksi yang hebat, namun aku bersikeras untuk melahirkan dengan
jalan normal. Menginjak bulan ke sepuluh dirinya tak kunjung hadir dalam
pelukanku, rasa khawatir mulai menghinggapiku. Hasil USG menunjukkan
kondisi air ketubanku yang semakin keruh dan berkurang. Sepertinya tak
ada pilihan bagiku untuk mengikuti saran dokter kandungan, kembali melahirkan
dengan jalan cesar. Jalan itu akhirnya menjadi pilihan terakhir
bagiku demi keselamatan buah hatiku.
Anakku akhirnya kau hadir dalam pelukanku meski dengan perjuangan yang tak
kalah hebat dari kakakmu. Tapi..., apa yang terjadi denganmu
sayang? Kenapa tubuh putihmu semakin menguning? Kau pun enggan
membuka matamu. Bangunlah anakku! Minumlah air susu yang
kupersembahkan untukmu, air yang mengalir cinta dan kasih sayang di dalamnya.
Tuhan, ada apa dengan bayiku? Haruskah kualami kembali peristiwa 3 tahun
silam? Panik, kubawa anakku ke rumah sakit, tubuhnya kian menguning,
matanya terpejam dalam damai, seolah berada dalam tidur yang panjang.
"Bu, anak ibu harus dirawat bila ibu tak ingin kehilangan!" ucap
dokter yang memeriksanya saat itu. Owh, kalimat itu terasa seperti palu
godam yang menghancurkan tubuhku hingga membuatku lemas tak berdaya.
Akhirnya aku harus mengalaminya kembali. Sudahlah, kujalani saja suratan
ini, mungkin setelah ini dia akan tumbuh menjadi anak yang sehat.
Ternyata harapan tinggal harapan bulan demi bulan aku harus menghabiskan
waktuku untuk menjaganya di rumah sakit, tak ada waktu bagiku untuk
beristirahat dari beban yang mendera, sang kakak harus rela kutinggalkan
dan kutitipkan di sekolah hingga suamiku menjemputnya. Rasa putus asa
menderaku, merasa Tuhan tak adil memperlakukanku dengan cobaan yang
bertubi-tubi, aku merasa ingin berontak pada takdir. Tapi lihatlah tubuh
kecil itu, tak ada setetes air mata pun di matanya, hanya senyum, seulas senyum
yang manis selalu terkembang di antara perihnya hujaman jarum infus yang
berrtengger di kaki mungilnya. Tubuh kecil itu begitu tegar menjalani
sakitnya, sementara aku begitu rapuh, imanku hampir tipis tergerus oleh cobaan
yang bertubi-tubi. Kuciumi wajah mungilnya, membelainya hingga ia
tertidur. Selang oksigen yang melingkar di wajahnya membuatku tak mampu
menahan cucuran air mata ini. Anakku terdiagnosa menderita
bronchopneumonia.
Aku
berlari keluar, berjalan dari satu bangsal ke bangsal anak hingga aku terpaku
di sebuah ruang ICU, seorang bayi mungil berumur 9 bulan, kurus seolah masih
berusia 2 minggu terbaring dengan infus, selang oksigen dan alat pendeteksi
detak jantung, bayi ini menderita penyakit yang sama dengan putraku,
bronchopneumonia. Aku seperti terhempas dengan keras, tersadar dengan keputusasaanku,
tersadar betapa lemahnya imanku, hingga aku jatuh terduduk di lantai rumah
sakit. Aku merasa malu pada anakku, pada para balita yang terbaring lemah
tanpa daya, harusnya aku berbuat sesuatu untuk kesembuhan mereka, bukan malah
meratapi nasib.
Suatu hari,
saat usia anakku mencapai 2 tahun dan kembali terbaring karena penyakit yang
sama, aku mendapatkan berita duka dari seorang temanku yang harus kehilangan
buah hatinya akibat bronchopneumonia, belum lagi perjumpaanku dengan orangtua
dari seorang balita yang baru saja meninggal karena penyakit yang sama.
Berita yang kembali membuat hatiku menciut, kupikir aku harus berbuat sesuatu,
sesuatu yang dapat menguatkan keluarga pasien, sebuah harapan akan kesembuhan,
sebuah perjuangan tentang usaha pencegahan penyakit yang mematikan ini.
Kutatap buah hatiku yang tersenyum manis padaku, memberi sebuah kekuatan padaku
untuk berjuang, meyakinkanku bahwa dia mampu menjalani semua ini begitupun
denganku.
Hari itu, aku melihat buah hatiku menghibur rekan satu bangsalnya, mengajaknya
bermain, menghiburnya kala mereka menangis, trenyuh dan bangga hatiku
melihatnya. Usianya begitu belia, namun dia sudah memiliki jiwa sosial,
Kini usia anakku telah genap 4 tahun, dia sudah mampu mengutarakan tentang rasa
prihatinnya terhadap para pasien yang terbaring di rumah sakit, dia mampu
mengungkapkan harapannya padaku, yang dia sampaikan saat tubuhnya terbaring
lemah di rumah sakit beberapa bulan yang lalu, inilah harapan kedua buah hatiku
untuk orangtuanya:
- Bunda aku ingin bunda tersenyum saat aku terbaring sakit, karena senyum bunda mampu menghilangkan deritaku
- Bunda sayangi aku, agar bila aku mati nanti aku hanya mengingat kenangan indah tentangmu
- Bundaku sayang, aku ingin sehat, seperti anak lainnya bisa bermain dan berlari
- Adek mau jadi dokter Bunda, adek mau kasih obat temen yang sakit biar sembuh
- Bunda jangan menangis ya, ade akan sehat, ade akan kuat, bunda doakan ade
- Bunda yang sabar ya menghadapi aku, aku janji akan membuatmu tersenyum bangga
Aku berharap kisah ini dapat memberi semangat bagi para bunda yang sedang diuji dengan sakit Bronchopneumonia..."JANGAN PERNAH MENYERAH PADA NASIB, HARAPAN ITU MASIH ADA, VONIS DOKTER BUKAN AKHIR SEGALANYA"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar