Cerita ini terjadi pada tahun
1994. Waktu itu adalah liburan sekolah,
aku yang duduk di kelas satu SMU Negeri di bilangan Taman Mini, merupakan
anggota baru di Himpunan Pelajar Pecinta Alam Semesta. Sebuah wadah yang emang aku banget deh
pokoknya. Mimpi untuk bisa naik gunung
seolah sudah mencapai ubun-ubun kepalaku.
Makanya pas denger berita klub ini akan melakukan pendakian ke gunung
ciremai hati ini langsung berbunga-bunga.
Apes! Meski sudah berusaha membujuk rayu Bapak,
ijin tidak juga didapat. Terus darimana
aku bisa dapat uang saku dan dana untuk membeli perbekalan?
H-2
sebelum keberangkatan rombongan kami belum juga mendapat surat jalan dari
sekolah. Aku pun tak punya sedikitpun
uang yang bisa kugunakan untuk berangkat.
Namun hasrat hati ini begitu menggebu untuk bisa melakukan pendakian
yang penuh tantangan ini. Gunung ini
seolah misteri buatku. Sepuluh tahun
sebelumnya Kakak pertamaku beserta
rombongannya tersesat di gunung ini dan baru diketemukan di dasar sebuah jurang
ditolong oleh sekumpulan kera dan monyet liar, subhanallah...
Tim
nekad memutuskan berangkat.
Beranggotakan kurang lebih 12 orang yang salahsatunya adalah guru
kami. Tanpa surat jalan dan tanpa
persiapan fisik dan terutama aku yang tanpa persiapan dana juga.
Hari
itu aku memutuskan untuk menjual cincin emasku untuk biaya perjalananku. Aku pun terpaksa berbohong dengan mengatakan
bahwa aku akan berkemah di daerah Cileungsi Jawa Barat. Kesalahan yang fatal!
Diantara
12 anggota tim ekspedisi nekat ini, dua di antaranya adalah wanita, yaitu aku
dan temanku Siti. Ternyata Siti juga
berangkat dengan kenekatan. Sesungguhnya
dia sudah diberitahu bahwa wanita yang sedang berhalangan tidak boleh melakukan
pendakian ke gunung ini. Tetapi keinginan
yang meluap memaksanya untuk tidak berterusterang tentang kondisinya, khawatir
tidak diperbolehkan ikut.
Esok
harinya, tepat pukul 08.00 WIB, tim Nekad ini berangkat juga dengan daftar
panjang kenekatan masing-masing anggota tim.
Kami berangkat menuju terminal bis dan memilih jurusan kuningan. Jalur pendakian yang kami lalui adalah Palutungan
dengan pertimbangan jalurnya landai sehingga tidak begitu memberatkan bagi
pendaki amatir seperti aku dan Siti.
Sejak
awal tiba di pos kedatangan, kondisi dan stamina Siti menurun. Tubuhnya demam tinggi dan menggigil. Aku mulai berpikir yang tidak-tidak terkait
mitos larangan bagi wanita haid menginjakkan kaki di gunung ini. Mungkinkah penguasa gunung keramat ini murka?
( maklum agama masih cetek, kejawen pula).
Kami
memutuskan untuk bermalam hingga kondisi Siti membaik. Hari itu aku betul-betul harus menjadi
perawat yang baik untuk tim ini. Aku
bertanggungjawab atas kesehatan sahabat baikku ini. Malam itu kami terpaksa ngecamp. Terdengar lolongan
anjing dan suara binatang malam yang membuat suasana kian mencekam. Terlebih lagi sore tadi kami mendapat
informasi bahwa ini adalah musim harimau turun gunung.
Parahnya
ternyata tim kami hanya membawa 1 tenda dome!
Oh, my God... dan itu pun kapasitasnya hanya untuk dua orang, padahal
anggota tim kami ada 12.
Yah...beruntunglah kami yang wanita.
Kami mendapat kehormatan untuk tidur dalam tenda, sementara lainnya
tidur beratap langit.
Saat
kondisi Siti membaik, kami melanjutkan perjalanan. Namun tak berapa lama tubuhnya kembali
demam. Sebenarnya sejak masih di bawah
tim sudah menyarankan untuk mengurungkan pendakian karena alasan
kesehatannya. Tapi Siti berkeras untuk
lanjut. Perbekalan yang kami bawa hanya
cukup untuk 5 hari saja, dan kami sudah melewati 2 hari padahal puncak masih
sangat jauh dan kondisinya kembali drop.
Perjalanan kali ini betul-betul butuh kesabaran. Medannya memang landai tetapi sedikit memutar
jauh.
Akhirnya
kami tiba di puncak pada hari ke-3. Medan
menuju puncak adalah medan pasir dengan tingkat kemiringan yang cukup
curam. Satu langkah kami maju, kami
harus turun 3 langkah. Sulit sekali
menjejakkan kaki di pasir ini, pikirku saat itu. Kondisi kesehatan anggota tim mulai menurun,
perbekalan mulai menipis terutama air. Kami
tak menemukan dataran yang cukup luas di bibir kawah.
Keindahan
pemandangan dari puncak Ciremai menghapuskan segala penat dan letih yang
ada. Subhanallah indah...subhanallah
luar biasa. Puas menikmati keindahan
alam tersebut, kami harus bergegas turun menuju jalur Linggarjati dengan
harapan kami akan tiba lebih cepat, karena perbekalan kami sudah menipis dan
kami berharap bisa mendapatkan air di Sanggabuana II. Medan di jalur ini sangat curam dan banyak kerikil,
kami menyebut medan ini batu runtuh. Hati-hati
sekali kami melaluinya agar tidak terpleset kerikil dan batuan kecil. Aku dan Siti turun dengan cara merosot. Malang tak dapa ditolak! Sebuah kerikil kecil dari atas jatuh dan
tepat mengenai tempurung lutut Siti hingga retak. Pertolongan pertama coba kami berikan. Mencoba membuat tandu untuk membawanya turun,
sayang tubuh-tubuh tipis anggota tim tak mampu mengangkat sahabatku ini yang
bobotnya lebih dari 70 kg. Lagi pula
jalannya terlalu sempit dan tak mungkin dilalui oleh iring-iringan orang
mengangkat tandu.
Malam
itu kami kembali memutuskan untuk ngecamp.
Sebagian anggota Tim harus turun untuk mencari bantuan. Persediaan air hanya tinggal satu botol aqua
untuk 7 orang anggota yang tersisa. Yang
sehat harus mengalah agar rekan yang sakit bisa segera pulih.
Retak
itu membuat tubuh Siti kembali demam tinggi.
Semua jaket dan selimut kami gunakan untuk membungkus tubuhnya. Benar-benar kesetiakawanan yang membuatku
terharu. Mereka mengalah berdingin ria
demi seorang teman. Malam itu aku
benar-benar harus jadi satpam. Udara
dingin, lapar dan haus membuat anggota tim mulai mengalami halusinasi. Sampai kapan kami akan disini? Mungkinkah kami selamat? Ataukah harimau gunung yang diberitakan akan
menjadikan kami santapannya?
Satu
persatu anggota tim berjalan ke arah tepi jurang. Mereka seolah melihat sebuah warung kecil
dihadapannya. Itu hanyalah
fatamorgana! Kutarik satu persatu dari
mereka menjauhi bibir jurang. Mencoba menyadarkan mereka dengan cara memukul
wajah dan tangannya dengan sebuah tinjuku.
Meski sulit, namun akhirnya mereka berhasil kusadarkan.
Ketakutan
akan kematian mulai membayang-bayangi kami.
Tak ada alat komunikasi yang kami bawa, yang bisa kami gunakan untuk
menghubungi dan mencari bantuan. Ego-ego
asli mulai bermunculan. Terlihatlah siapa
yang memiliki hati yang ksatria dan siapa yang egois. Esoknya, menjelang sore bala bantuan datang menolong
kami dari Tim Sar Jawa Barat. Rupanya
berita kecelakaan yang kami alami telah terdengar hingga ke sekolah dan
jaringan radio ORARI.
Setelah
mendapat pertolongan dari tim SAR, Siti akhirnya bisa berjalan dengan kruk yang
dibuat dari batang kayu. Perjalanan pun aku
lanjutkan. Malam mulai merambat
naik...suasana begitu hening dan mencekam.
Dinginnya udara gunung mencucup hingga ke sumsum tulang. Tiba-tiba kepala rombongan Tim SAR
menghentikan langkah kami. Menggunakan
isyarat jari telunjuk di bibir sebagai perintah untuk tidak bersuara. Sang kepala rombongan ini meminta kami
waspada. Ada suara-suara mencurigakan
dari balik rimbunnya semak. Sepertinya
seekor harimau harimau. Bila harimau ini
lapar, artinya kami harus berlari menyelamatkan diri, tapi bila tidak...
cukuplah kami diam tak bersuara. Mematikan
semua senter yang kami bawa.
Tak
berapa lama sang lakon akhirnya muncul.
Berlenggak-lenggok bak seorang peragawati di atas kanvas. Berhenti sejenak dan menatap ke arah tempat
kami terpaku. Nafas kami tertahan. Maut rasanya sudah di depan mata. Bayang-bayang tubuh kami yang terkoyak
harimau dan menjadi headline di surat kabar nasional seolah bermain di otak
kami.
Tegang! Itu pasti.
Tak berapa lama sepertinya harimau ini menunjukkan tanda-tanda kalau dia
sudah kenyang. Dia pun berlalu begitu
saja. Seperti lepas nyawa ini. Tapi hati ini belum bisa tenang, karena
perjalanan kami masih panjang.
Singkat
cerita, akhirnya kami sampai di pos masuk Linggarjati saat dini hari. Serombongan anggota ORARI Jakarta dan Jawa Barat
serta polisi hutan sudah berkumpul menyambut kami. Omelan, nasehat dan cerca kami terima saat
mereka tahu bahwa ini adalah pendakian pertama yang bermodalkan kenekatan. Tak menggubris semua itu, kami sujud syukur
berjamaah di atas lautan pasir. Setelah itu
sebuah mobil milik ORARI membawa kami dengan tujuan rumah sakit. Namun kami memilih untuk beristirahat di
penginapan saja.
Ada sebuah
pelajaran dari Tim Nekad ini, seperti halnya dengan tim nekad travelller lainnya di www.telkomsel.com/nekadtraveller. Pergilah
dengan persiapan matang, stamina yang baik dan perhitungan yang tepat,
perbekalan yang cukup, serta peralatan yang mendukung. Restu orang tua dan surat jalan adalah hal
yang harus kita miliki saat melakukan pendakian. Jangan memulai suatu pendakian dengan
ketidakjujuran.
TULISAN INI DIIKUTKAN LOMBA #NekadTraveller
www.telkomsel.com/nekadtraveller
www.telkomsel.com/nekadtraveller
Tidak ada komentar:
Posting Komentar