“Tuhan,
kalau boleh aku memilih...biarlah aku memiliki apa yang sudah kumiliki saat
ini(Farhan).”
Begitulah
pintaku saat aku hamil untuk yang kedua kali di luar perencanaan kami. Secara psikologi aku memang belum siap untuk
kembali hamil. Himpitan ekonomi yang kami alami membuatku begitu gamang,
terlebih lagi statusku sebagai menantu yang belum diakui keberadaannya. Bagaimana nasib anak-anakku kelak, bila
mereka tidak mendapat pengakuan dari keluarga suamiku?
Kehamilan
ini memang di luar rencana. Alat kontrasepsi
yang kugunakan tak berfungsi maksimal sepertinya. Sementara putra sulungku masih berusia 2
tahun dan sering sakit-sakitan. Tak
terbayang bagaimana hari-hariku esok dengan hadirnya anggota baru di keluarga
kami.
Sejak
trimester pertama kehamilan, tubuhku cenderung lemah dan sering sakit, tak
seperti kehamilanku yang pertama. Hingga
mendekati waktu kelahiran aku tak jua merasakan tanda-tanda akan lahir. Ada
ketakutan yang menderaku...takut akan datangnya ajal seperti saat persalinan
pertamaku dulu. Mungkinkah persalinan
ini akan menjadi waktu terakhir untukku?
Berbagai pikiran negatif berputar dalam otakku. Rasanya aku belum puas memeluk dan menjaga
sulungku, haruskah aku meninggalkannya kali ini?
Kehamilanku
memang kehamilan yang beresiko, karena tulang panggulku yang sempit proses
kelahiran harus melalui bedah cesar.
Sementara tubuhku tidak kuat dengan bius epidural yang disuntikkan ke
dalam punggungku hingga selalu membuatku tak bisa bernafas hingga jantungku pun
berhenti berdetak. Pengalaman ini
sungguh membuatku takut menghadapi persalinan.
Tepat
jam 22.00 WIB, melalui sebuah operasi cesar di sebuah rumah sakit Angkatan
Darat, lahirlah sesosok bayi laki-laki mungil nan tampan, berkulit putih yang
akhirnya kuberi nama Favian Attar Firdaus.
Bayi yang sempat kuragukan statusnya sebagai anakku.
Aneh ya? Biasanya seorang ayah yang meragukan apakah seorang anak itu anaknya atau bukan. Tapi ini seorang ibu yang memang dari rahimnyalah Allah menitipkan anak-anak yang harus didik dan dijaga.
Aku
memang sempat meragukan kalau bayi itu adalah putraku. Aku berpikir mungkin saja dia adalah bayi
yang tertukar, karena ada beberapa proses persalinan kala itu. Apalagi bayi itu berkulit putih dan tampan,
tidak seperti kulit kami yang coklat.
Matanyapun sipit tidak seperti mata kami. Perawat dan Bidan meyakinkanku bahwa itu
memang putraku.
Saat
kepulanganku dan bayiku, aku melihat ada keanehan padanya. Tubuhnya kuning. Aku mencoba menanyakan pada bidan yang
bertugas, namun dia meyakinkanku bahwa itu adalah gejala yang normal dan akan
hilang dengan sendirinya bila dijemur dan diberi asi yang banyak.
Ternyata
semakin hari tubuhnya semakin kuning, nafasnya sesak dan fesesnya cair. Aku pun membawanya ke rumah sakit. Dokter menyarankan untuk rawat inap karena
kondisinya. Sejak itu kondisinya selalu
berada dalam pantauan dokter. Keluhan
demi keluhan acap terjadi. Tubuhnya
sering batuk dan sesak. Sampai suatu
ketika tubuhnya membiru karena kekurangan oksigen. Bayiku mengidap Bronchopneumonia. Penyakit mengerikan
yang banyak merenggut jiwa kecil tak berdosa.
“Tuhan...dosa
apa yang kulakukan hingga menerima cobaan ini?”tanyaku dalam hati kecilku
seolah tak pernah berbuat dosa. Hari
demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun berikutnya kuhabiskan di
sekolah kehidupan yang bernama Rumah Sakit.
Bayi kecilku nan tampan sering sekali menginap di sana setiap kali flu
melandanya. Kepalanya panas hingga
berbulan-bulan lamanya. Sedikit saja
tubuhnya terpapar virus, dapat dipastikan bahwa kami harus kembali belajar di
sekolah kehidupan.
Aku
merasa hidupku terampas. Waktuku
tersita, sulungku terlantar. Percayakah
teman? Ada seorang ibu yang benci pada
anakknya yang tak berdosa? Itulah aku.
Aku membencinya. Karena telah
memisahkanku dengan putra sulungku dan memenjarakanku dalam rumah sakit
bertahun-tahun lamanya.
Ada
rasa lelah yang menderaku. Jenuh dan
bosan menghadapi kehidupan rumah sakit yang tampak sama dan tak menyenangkan
buatku. Sampai suatu ketika aku
dipertemukan dengan sesosok ibu yang begitu tabah dan sabar. Dia menghabiskan waktunya bersama putri
kecilnya yang juga mengidap bronchopneumonia dan kelainan pertumbuhan. Di usianya yang menginjak 5 tahun putrinya
belum bisa berjalan dan bicara. Tubuhnya
kecil dan lemas tak bertenaga. Namun wanita
ini menyayanginya dengan sepenuh jiwa, mendampinginya seorang diri.
Aku
belajar...aku belajar padanya. Hingga
membuatku merasa malu dan bersalah pada putra kecilku yang tak berdosa, yang
tak kuberi kasih sayang dan tempat di hati.
Sepertinya bayiku dapat merasakan perasaanku, hingga dia tak mau
denganku. Dia hanya akan tidur bila sang
ayah mendekapnya. Dia tidak mau meminum
air susuku. Dia tak pernah menangis
walau sakit menderanya. Dia hanya bisa
tersenyum dan tertawa. Dia yang selalu
menguatkanku kala sedih menderaku, meyakinkanku untuk kuat dan tak menangis,
meyakinkanku bahwa kesembuhan dirinya pasti tiba dan dia kuat menjalani
sakitnya.
Favian Dalam Pelukan Sang Ayah
Sampai
pada suatu hari, Allah hampir mengambilnya dariku. Tubuhnya diam tak bergerak. Tak kurasakan hembusan nafasnya, sementara
detak jantungnya begitu lemah.
Rabb...apa yang terjadi dengan putra kecilku?
Mungkinkah
Allah marah karena aku telah menyia-nyiakannya selama ini dan hanya menyayangi
sulungku?
Tiba-tiba
aku begitu sedih dan takut kehilangan, dokter dan perawat begitu panik melihat
kondisi putraku dan aku yang mulai lemas lunglai. Hampir tak ada harapan. Berbagai cara tak mampu menyadarkan putraku
dari tidur lelapnya. Terlihat betapa dia
begitu damai.
Please
...Rabb! jangan ambil putraku. Aku menyayanginya! Aku memang bersalah...tapi ijinkan aku
bertukar nyawa dengannya. Doaku dalam
hati. Kudekati wajahnya yang mulai
dingin, kucium dengan bertubi-tubi.
Kubisikkan di telinganya,”Bangunlah nak,
Bunda amat sayang padamu. Bunda
tak ingin kehilanganmu sayang.
Kembalilah... kepelukan bunda!”
Air
mata mulai menetes deras di pipiku.
Dokter dan perawat segera melakukan tindakan penyelamatan kembali, saat
air mataku jatuh membasahi pipinya...bocah kecil itu membuka matanya
perlahan. Tatapan matanya begitu
bersinar penuh bahagia, senyum manis tersungging di bibirnya. Terdengar suara lirih dari bibir mungilnya...
“Bunda...jangan
sedih. Adek sehat, adek hanya tidur,
katanya lemah dan diapun memejam kembali.
Selang-selang oksigen dan infus mulai terpasang di tubuhnya. Malam itu dan 9 malam berikutnya kami
menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menjaganya.
Tahukah
teman, tak ada masalah tanpa jalan keluar, tak ada penyakit tanpa obat, tak ada
siang tanpa malam, tak ada terang tanpa gelap.
Aku menjalani masa-masa kelam hidupku yang jauh dari keluarga dan kasih
sayang, mengalami saat-saat penolakan dari mertua, mengalami masa-masa sulit
ekonomi yang kupikir begitu berat bagiku.
Perlahan...saat
aku mulai menyayanginya, saat aku mulai belajar menerima hidup, gelap berubah
menjadi terang, hidupku menjadi lebih bermakna, rezeki mengalir begitu deras,
masalah demi masalah terpecahkan satu persatu.
Allah
mendatangkan ujian bagiku agar aku kuat dan dia memberikan Favian Attar sebagai
penawar luka, sebagai penghiburku di kala sedihku. Sosok kecil yang dulu sempat kutolak hadirnya
justru memberiku kekuatan yang luar biasa padaku. Dia memujiku, dia menguatkanku, dia
menyanjungku dan menghiburku dengan caranya.
Saat
ku sibuk, ditawarkannya bantuan
Saat
ku bersedih diusapnya air mataku sambil menguatkanku dengan kasih sayangnya
Sosok
itu adalah anugrah Allah untukku
Sosok
itu kini selalu mengisi hari-hariku
Kutuliskan
tentangnya di setiap lembar kisah yang kugoreskan
Sepertinya
dia terlahir dengan kasih sayangnya yang besar pada sesama mahluk ciptaan
Allah. Dia begitu sayang tidak hanya
pada temannya, tetapi juga pada semut yang acap menjadi ancaman bagi jiwanya.
Pernah
suatu hari rumah kami diserang semut yang sedang migrasi. Besar sekali.
Khawatir akan menggigitnya, aku menyapu semut-semut itu keluar. Tapi apa yang terjadi?
Favianku
melarangku, katanya aku akan menyakiti semut-semut itu dengan menyapunya. Diambilnya semut itu satu persatu lalu
diletakkan dalam genggamnya untuk dipindah ke luar, namun kuambil dengan paksa
karena khawatir semut akan menggigitnya dan membuat tubuhnya bengkak seperti
dahulu dan membuat nafasnya terhenti.
Favian begitu bersedih, dia pergi membawa semut-semut itu ke balik
korden rumah.
Favian selalu Ceria
Kudengar
suara isak tangisnya, lamat-lamat kudengar dia berbincang dengan semut
“semut..maafkan
bundaku ya, ...hiks kamu sakit ya disapu Bundaku? Bundaku sebenernya baik..maafin ya. Kamu sekarang pergi yang jauh biar tidak
disapu bunda”
Tak
jarang aku melihatnya menyuapi semut-semut bessar itu, meberikannya tempat
tidur dan menina bobokannya. Pun
demikian dengan binatang lainnya, ulat, kucing, ayam, burung dan ikan. Dia selalu menyempatkan untuk berbincang
dengan hewan-hewan itu. Pertanda apakah
ini?
Aku
belajar banyak dari sosok kecil itu, tentang keyakinan, kesabaran, keikhlasan
dan kekuatan dan kasihsayang. Sering
sekali dia membisikkan kata-kata agar aku selalu sehat dan kuat sambil mencium
pipiku.
Setiap
dia terbangun dari tidur, ucapan salam tak pernah luput dari bibirnya
“assalamu
alaikum Bunda... Adik sudah bangun” katanya lembut. Atau tak jarang di memanggilku dengan
panggilan Bundaku sayang, jaga kesehatan
ya...jangan capek-capek biar ngga sakit.
Subhanallah...
rasanya meski puluhan pena bertinta kugunakan tuk menggoreskan tintanya, takkan
pernah cukup tuk melukiskan rasa syukurku memilikinya. Dia yang dulu hadirnya kuanggap sebagai ujian
ternyata adalah anugrah yang Allah hadiahkan padaku. Dibalik setiap pengorbananku untuknya ada
setangkup bahagia yang dia berikan padaku.
Terima kasih Ya Rabb...kau beri aku
kesempatan untuk menjaganya dengan sepenuh jiwaku.