Kasus kekerasan pada
anak kian marak terjadi. Pelaku bisa
berasal dari keluarga sendiri ataupun lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang. Kemajuan teknologi yang kian canggih,
himpitan ekonomi, dan pola asuh yang tidak sesuai nurani menjadi pendorong
terjadinya beberapa kasus kekerasan pada anak. Siapa yang harus disalahkan bila
itu terjadi? Pelaku-kah?
TIDAK!
Sesungguhnya tanggung
jawab terhadap perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya
keluarga, melainkan juga seluruh masyarakat.
Siapapun yang melihat, dan mendengar tindak kekerasan pada anak, wajib
mengambil tindakan pencegahan hingga pelaporan pada pihak yang berwajib.
Budaya masyarakat yang
sebagian masih berpandangan bahwa mendidik anak yang baik adalah dengan
kedisiplinan tinggi, terkadang menimbulkan celah terjadinya tindak kekerasan
pada anak bila orangtua salah memahami konteks kata “disiplin”. Sebagian masih berpendapat bahwa disiplin dan
ketegasan dapat ditunjukkan dengan memberi sebuah peringatan keras saat anak
melanggar peraturan berulang kali.
Peringatan keras inilah yang acap diwujudkan dengan bentakkan, pukulan
dan cubitan pada anak, yang tanpa mereka sadari dapat membuat anak mereka
terluka jiwanya maupun fisiknya.
Kisah Engeline, seorang
anak yang diadopsi pasangan suami istri, dan kemudian ditemukan dalam keadaan
meninggal dan dikubur di halaman rumah, merupakan sebuah bukti lemahnya peran
masyarakat sebagai fungsi kontrol dalam perlindungan anak. Masyarakat yang mengetahui tindak kekerasan
terjadi, tak jua mengambil tindakan preventif untuk mencegah ataupun melindungi,
dengan alasan tidak memiliki hak terhadap anak tersebut (pihak luar). Mereka khawatir akan terjadi sebuah
perselisihan bila ikut campur dalam masalah tersebut. Hal ini sudah menjadi budaya sungkan yang
telah mengakar pada sebagian besar masyarakat.
Barulah setelah peristiwa terjadi, laporan akan berbondong-bondong
muncul.
Kak Seto di sedang menjelaskan tentang Film "Untuk Engeline"
Kak Seto di sedang menjelaskan tentang Film "Untuk Engeline"
Diskusi Santai Insan Media, bersama Kru Film dan kak Seto
Sesi Foto bersama
Kak Arul dari KabarIndo Memandu Diskusi Menjadi Menarik
Lele Laila, Sineas Muda Berbakat
Minggu, 31 Januari 2016
kemarin,bertempat di Hotel Harmony Sunset road Kuta Bali, kami para insan media
baik online maupun cetak mendapat undangan untuk menghadiri pers conference dan
bincang santai bersama seorang pemerhati anak yang cukup melegenda dengan kisah
si KOMO-nya. Beliau adalah Kak Seto,
Lelaki yang mengabdikan hidupnya demi anak-anak di manapun berada. Di usianya yang mulai semakin matang, Kak
Seto terlihat masih sangat energik dan segar. Suaranya pun masih terdengar
lepas dan merdu saat bernyanyi. Acara
yang diselenggarakan oleh kak Arul seorang blogger dari Koalisi Online Pesona
Indonesia atau disingkat KOPI ini, dihadiri juga oleh kru Film “Untuk Engeline”, dan Ibu Hamidah
selaku Ibu kandung dari Engeline. Sosok
ibu yang telah lama merindukan putrinya, namun kemudian dia mendapati kenyataan
lewat media bahwa buah hatinya telah menjadi korban tindak pembunuhan dan
kekerasan pada anak.
Hati ibu mana yang
takkan hancur mendengarnya? Andai dia tahu nasib putrinya akan berakhir seperti
ini, tentu dia takkan pernah melepaskan putrinya ke tangan orang lain. Tapi
semua tak dapat diulang, Engeline telah pergi dan meninggalkan banyak
kepedihan, empati mendalam, serta penyesalan tak putus. Namun di masyrakat
masih banyak Engeline yang lain yang harus dilindungi dan diselamatkan.
Kekhawatiran inilah
yang kemudian ditangkap oleh seorang sineas muda Lele Laila, untuk mengangkat
kisah ini menjadi sebuah film “Base True Story” dengan tujuan memberi peringatan
kepada masyarakat tentang tanggungjawab perlindungan anak. Pada awalnya niat ini disambut baik oleh
segenap masyarakat, namun di pertengahan jalan mendapat penolakan dari beberapa
pihak salah satunya adalah Gubernur Bali yaitu Made Mangku Prastika karena
beberapa alasan, salah satunya adalah proses sidang yang belum selesai. Hal ini tentu saja membuat bingung ibu Niken
Septasari yang bertindak sebagai produser Film “Untuk Engeline” beserta kru
film-nya.
Ada apa di balik pro
dan kontra pembuatan film “untuk Engeline”?
Benarkah ibu Engeline
menjual kisah anaknya untuk uang seperti anggapan yang berkembang di masyarakat?
Ataukah ada pihak –pihak
yang bermain, ada kepentingan-kepentingan yang merasa terganggu dengan
penayangannya?
Tentu sebuah tuduhan
yang keji sekali bila kita mengatakan seorang ibu yang menderita karena
kehilangan anaknya telah menjual kisah anaknya demi uang. Di hadapan kami, Ibu Hamidah menuturkan
ungkapan hatinya dengan linangan air mata dan membuat kami yang hadir tak
sanggup menahan butir –butir kristal keluar dari sudut mata kami.
“Sungguh!! .Saya tidak
pernah menjual anak saya untuk uang.
Saya menyetujui kisah ini difilmkan agar tidak terulang dan menimpa anak
lain”
Benar, film ini dapat
menjadi monumen peringatan bagi kita untuk tidak melakukan kekerasan pada
anak. Menurut Mas Sony seorang Budayawan
yang juga hadir, sebuah film adalah karya sastra dan sudah seharusnya tidak
boleh di larang pembuatannya dan peredarannya,
seperti film Arie Hanggara yang pernah tayang dan menjadi salah satu film yang
wajib ditonton para orangtua, guru dan pelajar saat itu.
Nah, film besutan Lele
Laila ini nantinya diharapkan dapat menjadi tonggak terciptanya Provinsi Ramah
Anak yang dicita-citakan oleh Kak Seto.
Penayangan film ini diharapkan dapat membuka mata masyarakat bahwa anak
adalah anugrah yang dititipkan Tuhan pada kita untuk dididik dan dilindungi dengan
cinta. Sebab menurut pemerhati anak
legendaris ini, upaya perlindungan anak takkan berjalan maksimal tanpa adanya
peran masyarakat sebagai fungsi kontrol di lingkungan tempat tinggal. Kak Seto juga menjelaskan bahwa anak yang
dirawat dan dididik penuh cinta, akan tumbuh menjadi anak yang hebat dan
membanggakan dan sebaliknya, anak yang dididik dengan kekerasan akan tumbuh
menjadi anak yang memiliki temperamen keras dan kasar. Bila seorang anak dididik dengan keras bisa
sukses sebagai manager, mungkin bila dia dididik dengan cinta, dia bisa menjadi
seorang presiden yang di cintai rakyatnya.
Untuk mewujudkan itu
semua, setiap desa sebaiknya membentuk sebuah satgas perlindungan anak, yang
bertugas untuk terus mengawasi agar tidak terjadi tindak kekerasan pada anak
seperti kisah Arie Hanggara, maupun kisah Engeline. Mari kita buka mata masyarakat melalui film “Untuk
Engeline”, dukung agar film ini bisa ditayangkan tepat di hari Anak
nasional. Jangan biarkan kejahatan anak
terulang!
Save anak indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar