"Apaan sih? Masa kamu ngga bisa ambil sikap tegas!" teriakku pada pria gembul yang berdiri di depanku.
"Sabarlah...bukan begitu maksudku. Tak semua hal harus disikapi dengan emosi" jawabnya sok diplomatis. Seperti biasa perdebatan kami acap terjadi dan berlalu dalam sekejap. Meski aku ditakdirkan untuk mendampinginya melakukan tugas-tugas negara setiap waktu, tapi tetap saja riak kecil sering terjadi.
Ah, aku dan si bonar memang partner yang antik di mata teman-teman. Sejenak berkelahi, namun tak lama kemudian sudah seperti Mimi lan Mintuno dalam menjalani aktivitas.
Sosok Bonar si orang Medan yang lama tinggal di Aceh membuat dia seperti galau dalam menunjukkan jatidiri. Entah mana yang lebih dominan antara darah Medan nya atau darah Aceh nya. Namun bila kulihat bentuk tulang wajahnya...tak dapat dibantah bahwa si Bonar adalah orang Medan asli.
Kedekatan kami acap membuat orang berbisik-bisik, seolah ada udang di balik lumpia...aw...aw..enak dong hahaha.
Tak jarang canda nakal pun dihembuskan oleh teman - teman satu perjuangan kala itu. Gosip nakal yang mengatakan aku adalah istri Bang Bonar pun mulai tak dapat di bendung. Pasukan kompor dan kipas pun seolah senang mendapat mangsa. Sementara kami santai mengikuti angin berhembus. Kadang kami pun iseng ngerjain balik para pasukan kipas dan kompor, bertindak seolah ada hubungan istimewa di antara kedekatan kami sebagai presiden dan sekertaris jendral Badan Eksekutif Mahasiswa saat itu. Bagai dua orang aktor yang sedang bermain peran di atas panggung, atau aku mengistilahkannya dengan kegilaan.
Sapa mesra dan panggilan sayang di telpon acap terlontar, bahkan terkadang kami sengaja mengeraskan volume suara agar teman satu kos mendengar kegilaan kami.
Ah..Bonar..Bonar, kau memang sahabat yang unik.
Sampai suatu ketika, saat Bang Bonar Jatuh cinta pada sesosok gadis yang sangat dekat denganku, tanya pun hadir. Gadis periang yang memiliki nama panggilan yang sama denganku, menghampiriku dengan rasa was-was di hatinya. Ada rona cemburu kutangkap di wajahnya.
" Hei..hei..ada apa adik manis? Kenapa wajahmu tampak bingung seperti itu?" Tanyaku sambil menatap wajah sang gadis
"Mbak... bolehkah aku bertanya padamu?" tanyanya dengan penuh kehati-hatian dan terbata.
"Ada apa pula denganmu? Tanyalah saja...bila kutau jawabnya, pasti kan kujawab jujur.
"Mba...benarkah kamu pernah dekat dengan bang Bonar? Apakah kalian pernah berpacaran?"
"Hua..ha.ha.ha...kamu dapat gosip dari mana pula itu?" tanyaku terbahak. Sambil geleng kepala aku terus saja terpingkal sambil memegangi perutku yang seperti dikocok.
Tapi tawaku seketika terhenti saat kulihat wajah itu tertunduk. Hmm...kupegang pundaknya.
"Maaf..tapi pertanyaanmu sungguh membuatku tergelitik. Aku tak ada hubungan apa-apa dengan Bang Bonar. Hanya kedekatan antara partner kerja saja, bahkan mungkin sedikitpun tak pernah terlintas di benak kami untuk saling tertarik" tuturku.
"Sungguh mba?" tanyanya dengan mata berbinar. Dia pun bercerita bahwa sesungguhnya dia dan Bonar sedang merajut kisah asmara... dan dia tak ingin berselisih denganku.
Bonar...Bonar! Bisanya kau sembunyikan kabar bahagia ini dariku. Gadis yang menganggapku sebagai kakaknya kini menjadi pacar dari sahabatku Bonar.
Yah, aku pun tak tau mengapa setiap berbincang dengannya kegilaan muncul. Candaku seolah gayung bersambut, ceria dan mengalir begitu saja tanpa ada rasa yang bermain. Aku merasa dukaku hilang saat berbincang dengannya. Sejak itu aku tak hanya memiliki Bonar sebagai sahabatku, tetapi juga Adela.
Kini setelah 15 tahun berlalu, dan kami telah terpisah jarak dan waktu, kedekatan itu masih tetap ada. Sesekali aku dan Bonar masih saling sapa dan kumat bersama meski lebih tertata...sebab kini kami bukan lagi gadis dan jejaka...kami adalah sosok pria dan wanita matang yang masing -masing telah memiliki perahu dan nahkoda. Canda dan tegur sapa pun lebih sopan dan tertata meski tak dapat dihindari untuk cekakak bersama.
Kisah cinta Bonar dan Adela yang kandas di tahun-tahun terakhir masa studi Bonar, rupanya menimbulkan jarak di antara mereka. Aku seolah jembatan di antara keduanya.
Sementara persahabatanku dan Adela kian semakin dekat. Kami dipertemukan kembali setelah 15 tahun berpisah dan kembali merajut silahturahmi indah, hanya saja... kini tak bisa sebebas dan selugas dulu. Ada hati yang harus kami jaga dan lindungi agar tidak terluka.
"Cit,...hatiku sedih. Kalau tau dia akan seperti ini... aku takkan pernah melepasnya pergi. Aku takkan membiarkannya melewati sakitnya sendiri. Aku akan membawanya berobat hingga ia sembuh!" tutur Bonar dari line telpon miliknya.
Aku hanya bisa merenungi...tak ada manusia yang bisa menduga masa depannya, pun demikian dengan Adela. Dia tak pernah mengira bahwa dia akan bersahabat dengan kanker, sebuah mesin pembunuh nomer satu di dunia. Dia tak pernah mengira akan menjalani usia paruh bayanya di atas ranjang dan menghabiskan sisa usianya dengan sebuah harapan
"HOPE"
Masih ada harapan yang kau punya sahabatku. Kupercaya liku hidup akan membuatmu semakin tangguh, semakin berjiwa besar dan semakin menebar kebaikan. Sebab di mataku, selalu terpancar sebuah harapan untukmu entah hari ini, esok atau lusa. Sama seperti bang Bonar dan aku yang juga harus menjalani lika liku hidup yang tak mudah. Kehancuran mahligai pernikahan Bonar tak membuatnya larut dalam keputus asaan.. pun begitu denganku sebab antara aku, kamu dan dia ada sebuah persahabatan yang indah yang melahirkan doa -doa terbaik meski kita tak harus bertatap muka. Doa dari aku, kamu dan dia untuk kebahagiaan kita semua.
Jangan ada lagi airmata ... dan hapuslah semua duka... badai pasti akan berlalu. Bidukmu akan sampai pada sebuah dermaga yang indah. Suatu saat kita akan dipersatukan kembali sebagai sebuah keluarga dalam indahnya jalinan silahturahmi.
There is always HOPE...in everything
BalasHapus